
Trump Tidak Menutup Kemungkinan Resesi di AS
Presiden AS Donald Trump mengakui bahwa resesi mungkin terjadi di negaranya, mendorong masyarakat dan pasar untuk bersiap menghadapi dampaknya. Namun, menurut Trump, skenario ini tidak akan dramatis. Meskipun demikian, pasar saham mulai menunjukkan tanda-tanda pesimisme. Pada 10 Maret, kontrak berjangka saham AS mengalami penurunan setelah Trump menyatakan bahwa ekonomi AS sedang memasuki "periode transisi".
Pemimpin Gedung Putih tersebut tidak menutup kemungkinan adanya perlambatan dalam pertumbuhan ekonomi AS. "Ini adalah periode transisi, karena apa yang kita lakukan sangat besar," jelas Trump.
Setelah pernyataan ini, kontrak berjangka Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq turun lebih dari 1%. Banyak saham mengalami tekanan pada bulan ini akibat ketidakpastian seputar kebijakan tarif impor yang terus berubah. Sebelumnya, Trump mengancam akan memberlakukan tarif tinggi terhadap impor dari Kanada dan Meksiko, tetapi kemudian menunda kebijakan tersebut hingga 2 April 2025.
Selain itu, Trump menaikkan tarif impor Tiongkok dari 10% menjadi 20%. Keputusan lain yang turut memicu gejolak pasar adalah tarif 25% untuk semua impor baja dan aluminium ke AS.
Minggu lalu, presiden AS tersebut juga mengancam akan mengenakan tarif pada produk susu Kanada, setelah sebelumnya berencana menerapkan tarif tinggi terhadap impor kayu dari negara tetangga tersebut. Trump bahkan mengisyaratkan bahwa tarif dapat meningkat seiring waktu.
Situasi ini menambah kecemasan di pasar global. "Pernyataan terkait tarif impor seringkali lebih berdampak buruk dibandingkan implementasi tarif itu sendiri," ujar David Bahnsen, Chief Investment Officer di Bahnsen Group. "Pembicaraan terkait tarif, perubahan kebijakan secara tiba-tiba, spekulasi, dan ketidakpastian hanya akan memperburuk kondisi pasar." Menurut Bahnsen, ketidakpastian ini kemungkinan akan berlangsung cukup lama dan berdampak pada aktivitas ekonomi selama satu hingga dua kuartal ke depan. Namun, pada akhirnya, ia memperkirakan AS akan mencapai kesepakatan dagang dengan beberapa negara, meskipun alasan di balik kebijakan ini tetap menjadi tanda tanya.